Rabu, Januari 16, 2008

Nonton pertama di Royal 21


Mmm, kemarin malam adalah nonton film pertamaku di Royal. Rencana pertama adalah nonton jam tujuh malem, karena Tere datangnya jam tujuh malem, akhirnya kami nonton jam Sembilan malam, but kita udah berangkat sekitar jam delapan kurang seperempat. Sampe sana masih sekitar jam delapan seperempat, lumayan kalo malam perjalanan dari Gedangan ke kota ndak macet jadi bisa cepet sampai di sana. Akhirnya setelah tanya sana-sini cari tempat parkir buat nonton, tibalah kita di parkir P7. Di P7 langsung berada selantai dengan bioskopnya. Setelah itu kami menuju loket. Yang aku lihat layout bioskop ini mirip banget dengan di PTC, Cuma bedanya harganya yang jauh lebih murah. Untuk Nomat di patok sepuluh ribu rupiah saja, sedangkan selasa-jumat tiket berharga lima belas ribu kalo sabtu dan minggu harganya dua puluh ribu saja, murah banget kan. Tapi karena saking murahnya dan berkualitas sama dengan di PTC, walhasil ruamenya minta ampun. Waktu itu mo nonton “Wild ***” but udah tinggal dua deret di depan, akhirnya kami nonton “Quickly Express” film si Tora Sudiro itu di studio tiga yang dimulai pukul setengah sepuluh.

Karena masih setengah Sembilan, kami jalan-jalan dulu di lantai bawah. Waktu jam Sembilan seperempat kami kembali ke bioskop. Karena agak laper akhirnya, kami putuskan untuk membeli kentang goreng dan pop corn (kami beli karena merasa pop corn yang dijual itu punya rasa unik, yang tidak dipunyai oleh pop corn bioskop). Ternyata waktu kami akan masuk ke studio tiga, kami dihalangi karena menurut petugasnya kami tidak boleh membawa makanan dari luar.

Akhirnya kami memilih menyiasatinya dengan cara memasukkan makanan yang kami beli dari luar ke dalam tas kecil yang aku bawa, meski agak sesak juga. Akhirnya berhasil masukklah pop corn plus kentang goreng itu ke studio tiga.

Memang, peraturan dilarang membawa makanan dan minuman itu ada di semua bioskop 21. Hal ini disebabkan karena bioskop itu juga menjual makanan dan minuman di dalam area bioskop. Dan tentu saja mereka gak mau rugi, karena jelas kalau makanan dan minuman dari luar diperbolehkan masuk makan omset penjualan mereka bisa turun.
Kalau menurutku jelas aja jarang yang beli ke sana kalo gak kepepet (hehehe), karena makanan dan minuman di sana jauh lebih mahal daripada di luar, tentu saja karena makanan dan minuman tersebut terkena pajak yang tinggi dan dibebankan kepada penonton. Bandingkan saja, kemaren kami membeli dua botol kecil air mineral merek “Aqua” dengan total kerusakan sebesar tujuh ribu rupiah. Bagaimana kalau beli di Indomaret deket rumah. Cukup dengan seribu tiga ratus , botol kecil itu udah bisa kita tenggak. Jauh banget ya harganya?
Memang baru kali ini saya mendapat teguran untuk tidak membawa makanan dan minuman dari luar dan solusinya adalah kita disuruh untuk menaruh di loker entah lokernya dimana, hehehe. Karena saat itu kami memilih menyiasatinya daripada menaruh makanan yang kami beli di loker yang katanya telah disediakan. Di tempat lain, emang gak pernah ditegur sih kalau bawa makanan atau minuman dari luar.

Dari sini, kami memilih menyiasatinya (maklum tergolong ekonomi sulit). Jika kami ingin menonton, maka kami akan beli makanan dan minuman dari luar dan masukkan ke dalam tas bawaan. Pastinya mereka gak akan menggeladah tas hanya untuk mencari makanan dan minuman dari luar. Yang kedua adalah, jika terpaksa membeli makanan dan minuman di dalam area bioskop, jangan buang tas plastic belanjaannya. Karena di tas plastic tersebut ada logo 21 yang lumayan bisa kita pake untuk menyiasati peraturan ini. Dan tentu saja dengan menggunakan kembali tas plastic tersebut, maka kita membantu bumi, karena tas plastic adalah produk yang tidak mudah diuraikan oleh tanah (hehehe, alesannya ada aja ya).

Permulaan tahun 2008

Ini adalah blog pertamaku di tahun 2008. Tahun 2007 lalu banyak kenangan dan kepahitan yang harus dijalani, tapi itu semua adalah proses yang harus dijalani.

Awal tahun ini juga merupakan awal proses baru. Tahun ini adalah awal berkarir di Universitas Trunojoyo sebagai CPNS di Biro Administrasi Akademi Kemahasiswaan dan Perencanaan Sistem Informasi (BAAKPSI). Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan untuk berkarir di pulau garam Madura, tepatnya di Kamal, Bangkalan. Sebenarnya beberapa pertimbangan adalah potensi dari Madura itu sendiri. Aku sih meyakini setelah jembatan Suramadu yang menghubungkan pulau Jawa dan pulau Madura jadi (yang diperkirakan tahun 2008 selesai) maka percepatan pertumbuhan ekonomi di pulau ini akan segera terjadi.


Pertama kali aku mengenal Universitas Trunojoyo dari temenku (anggota GMKI Surabaya) yang kuliah di sini sekitar tahun 2000 lalu. Dulu namanya adalah Universitas Bangkalan, lalu setelah perguruan tinggi ini statusnya menjadi Perguruan Tinggi Negeri, maka namanya berubah menjadi Universitas Trunojoyo.

Perkenalan kedua adalah waktu mencari lokasi syuting di Pulau Madura pada tahun 2006 lalu. Aku, Kandi, Titik dan mas Iman (Suami Titik) mencari pantai alami di pulau Madura untuk dijadikan lokasi syuting. Sebelum pulang, kami menyempatkan diri melihat Universitas Trunojoyo ini. Waktu itu hari minggu dan memang gak ada aktifitas di kampus itu. Mas Iman dan Titik menyempatkan untuk sholat di mesjid Universitas Trunojoyo. Dan saat itulah aku berada di Universitas Trunojoyo untuk yang kedua kali.


Saat ini aku masih belum aktif bekerja di Universitas Trunojoyo. Tapi ada kegembiraan juga berkarir di sini. Yang pertama adalah pekerjaan yang tidak jauh dari pekerjaan sebelumnya. Yang kedua adalah bertemu lagi teman seangkatan di Sosiologi Unair 1997. Ya, akhirnya kami (aku dan Kak Yudi – panggilan buat orang Madura, hehehe) berkumpul bersama lagi. Halah sok romantisme. Btw, emang dari dulu aku n Kak Yudi lumayan deket, bedanya kalo Kak Yudi tuh pinter aku tuh bodo, hehehe. Buktinya yang jadi Dosen di Universitas Trunojoyo kak Yudi. Btw, emang kak Yudi nih patut dibanggakan, salah satunya adalah dia adalah mahasiswa pertama yang mengisi jurnal milik Sosiologi Unair, dimana waktu itu penulis jurnal lain adalah dosen-dosen Sosiologi Unair. Wah pokoknya keren lah.